Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Pesan Bagi Para Hakim

  • Selasa, 24 Mei 2011
  • sanjayatrade
  • Label:


  • Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama
    besar ini— sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia
    yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di
    Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar
    bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir.
    Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran
    orang Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat
    pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya
    menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
    Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu
    Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang
    sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
    Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur
    jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan
    Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara
    memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka
    Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu
    menggantikan kedudukan bapaknya.
    Namun... demi mendengar rencana sang Sultan.
    Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadigila.
    Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong
    batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang
    pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya.
    Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

    Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup
    banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia
    mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
    Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka
    menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh
    bapaknya.
    Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang
    menemui Abu Nawas.
    "Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir
    utusan Sultan.
    "Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu
    Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
    "Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
    "Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan
    di sungai supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan
    sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
    Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
    "Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir
    "Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu
    Nawas.
    "Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
    "Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas
    sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
    Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan
    keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
    Dengan geram Sultan berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu
    Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia
    kemari dengan suka rela ataupun terpaksa."
    Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu
    Nawas di hadirkan di hadapan raja.
    Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya
    ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
    "Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
    "Ya Baginda, tahukah Anda....?"
    "Apa Abu Nawas...?"
    "Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"
    "Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"
    "Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"
    Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada
    para pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
    Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli
    tentara yang bertubuh kekar.
    Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang
    kota, ia dicegat oleh penjaga.
    "Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah
    mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi
    hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian,
    aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"
    "Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah
    Baginda yang diberikan kepada tadi?"
    "lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
    "Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
    "Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan
    sudah sering menerima hadiah dari Baginda."
    Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar
    lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu
    menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
    Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu
    saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
    Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan
    Harun Al Rasyid.

    "Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari
    mengadukan Abu Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima
    kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."
    Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah
    Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau
    telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali
    pukulan?"
    Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah
    sepatutnya dia menerima pukulan itu."
    "Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang
    itu?" tanya Baginda.
    "Tuanku,"kata Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah
    mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka
    hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya.
    Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya
    berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."
    "Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian
    seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.
    "Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.
    "Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
    "Hahahahaha IDasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut
    Baginda."Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga
    pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras
    orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan
    memecat dan menghukum kamu!"
    "Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
    Abu Nawas berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
    diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon
    ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan
    Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."
    Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia
    tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."
    Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong
    uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
    Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan
    semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.
    Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para
    menterinya.
    "Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai
    kadi?"
    Wazir atau perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang
    semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja
    menjadi kadi."
    Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama.
    "Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
    "Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru
    saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain
    saja."
    Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al
    Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
    Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak
    lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda
    untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan
    dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda
    menyetujuinya.
    Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan
    syukur kepada Tuhan.
    "Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.
    Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang
    lain saja."
    Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
    Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia
    panggii Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati
    bapaknya yang sudah lemah lunglai.
    Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah
    telinga kanan dan telinga kiriku."
    Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga
    kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau
    sangat busuk.
    "Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"
    "Benar Bapak!"
    "Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku int."
    "Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau
    harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
    "Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
    "Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
    Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan
    masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang
    seorang lagi karena aku tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah
    resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan
    mengalami hai yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka
    buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan
    Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
    memilihmu sebagai Kadi."
    Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk
    menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau
    penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu
    perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak
    konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali
    dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda
    Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

    0 komentar:

    Posting Komentar