Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Penelitian TIndakan Kelas

  • Selasa, 05 Oktober 2010
  • sanjayatrade
  • Langkah-Langkah Penelitian Tindakan
    Ada beberapa langkah yang hendaknya diikuti dalam melakukan penelitian tindakan (lihat misalnya Cohen dan Manion, 1908; Taba dan Noel, 1982; Winter, 1989). Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dan merumuskan masalah; (2) menganalisis masalah; (3) merumuskan hipotesis tindakan; (4) membuat rencana tindakan dan pemantauannya; (5) melaksanakan tindakan dan mengamatinya; (6) mengolah dan menafsirkan data; dan (7) melaporkan.
    Secara alami, langkah-langkah itu biasanya tidak terjadi dalam alur yang lurus. Apabila terjadi perubahan masalah pada waktu dilakukan analisis masalah, maka diperlukan identifikasi masalah yang baru. Data diperlukan untuk memfokuskan masalahnya dengan mengidentifikasi faktor penyebab, dalam menentukan hipotesis tindakan, dalam evaluasi dsb.
    1. Identifikasi dan Perumusan Masalah
    Seperti telah disinggung di muka, PTK Anda dilakukan untuk mengubah perilaku Anda sendiri, perilaku sejawat dan murid-murid Anda, atau mengubah kerangka kerja, proses pembelajaran, yang pada gilirannya menghasilkan perubahan pada perilaku Anda dan sejawat serta murid-murid Anda. Singkatnya, PTK Anda lakukan untuk meningkatkan praktik pembelajaran Anda. Contoh-contoh bidang garapan PTK:
    1. metode mengajar, mungkin mengganti metode tradisional dengan metode penemuan;
    2. strategi belajar, menggunakan pendekatan integratif pada pembelajaran daripada satu gaya belajar mengajar;
    3. prosedur evaluasi, misalnya meningkatkan metode dalam penilaian kontinyu/otentik;
    4. penanaman atau perubahan sikap dan nilai, mungkin mendorong timbulnya sikap yang lebih positif terhadap beberapa aspek kehidupan;
    5. pengembangan profesional guru misalnya meningkatkan keterampilan mengajar, mengembangkan metode mengajar yang baru, menambah kemampuan analisis, atau meningkatkan kesadaran diri;
    6. pengelolaan dan kontrol, pengenalan bertahap pada teknik modifikasi perilaku; dan
    7. administrasi, menambah efisiensi aspek tertentu dari administrasi sekolah (Cohen dan Manion, 1980: 181).
    a. Identifikasi masalah
    Seperti dalam jenis penelitian lain, langkah pertama dalam penelitian tindakan adalah mengidentifikasi masalah. Langkah ini merupakan langkah yang menentukan. Masalah yang akan diteliti harus dirasakan dan diidentifikasi oleh peneliti sendiri bersama kolaborator meskipun dapat dengan bantuan seorang fasilitator supaya mereka betul-betul terlibat dalam proses penelitiannya. Masalahnya dapat berupa kekurangan yang dirasakan dalam pengetahuan, keterampilan, sikap, etos kerja, kelancaran komunikasi, kreativitas, dsb. Pada dasarnya, masalahnya berupa kesenjangan antara kenyataan dan keadaan yang diinginkan.
    Masalahnya hendaknya bersifat tematik seperti telah disebutkan di atas dan dapat diidentifikasi dengan pertolongan tabel dua arah model Aristoteles. Misalnya dalam bidang pendidikan, ada empat sel lajur dan kolom, sehubungan dengan anggapan bahwa ada empat komponen pokok yang ada di dalamnya (Schab, 1969) yaitu: guru, siswa, bidang studi, dan lingkungan. Semua komponen tersebut berinteraksi dalam proses belajar-mengajar, dan oleh karena itu dalam usaha memahami komponen tertentu peneliti perlu memikirkan bubungan di antara komponen-komponen tersebut.
    Berikut adalah beberapa kriteria dalam penentuan masalah: (a) Masalah harus penting bagi orang yang mengusulkannya dan sekaligus signifikan dilihat dari segi pengembangan lembaga atau program; (b) Masalahnya hendaknya dalam jangkauan penanganan. Jangan sampai memilih masalah yang memerlukan komitmen terlalu besar dari pihak para penelitinya dan waktunya terlalu lama; (c) Pernyataan masalahnya harus mengungkapkan beberapa dimensi fundamental mengenai penyebab dan faktor, sehingga pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan hal-hal fundamental ini daripada berdasarkan fenomena dangkal.
    Berikut ini beberapa contoh masalah yang diidentifikasi sebagai fokus penelitian tindakan: (1) rendahnya kemampuan mengajukan pertanyaan kritis di kalangan mahasiswa; (2) rendahnya ketaatan staf pada perintah atasan; (3) rendahnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris; (4) rendahnya kualitas pengelolaan interaksi guru-siswa-siswa; (5) rendahnya kualitas pembelajaran bahasa Inggris ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa tersebut; dan (6) rendahnya kemandirian belajar siswa di suatu sekolah menengah atas.
    Masalah hendaknya diidentifikasi melalui proses refleksi dan evaluasi, yang dalam model Kemmis dan Taggart disebut reconnaissance, terhadap data pengamatan awal. Masalah rendahnya kualitas pembelajaran bahasa Inggris ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa tersebut (lihat nomor 5 di atas) diidentifikasi berdasarkan hasil pengamatan awal terhadap proses pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Sebagai contoh, cuplikan proses pembelajaran bermasalah tersebut disajikan dalam Gambar 3.1 di bawah ini.
    Ketika guru masuk kelas, pada jam 7 pagi, 5 Agustus 2002, murid-murid kelas IV SD itu sangat ribut. Beberapa mondar-mandir di depan kelas, beberapa berkelakar, dan yang lain bercakap-cakap satu sama lainnya. Sadar gurunya sudah datang mereka terdiam dan mencari meja masing-masing. Mereka lalu duduk manis, tangan di meja, dengan tangan kanan menumpangi tangan kiri. Guru memberi salam, “Good morning, children.” Murid-murid menjawab, “Good morning, Mam.” “Is anybody absent?” Tidak ada yang menjawab. Lalu dia mengulangi pertanyaan dalam bahasa Indonesia, “Ada yang tidak masuk?” Mereka saling berpandangan sebentar. “Tidak ada, Bu,” kata Sutanto, ketua kelasnya. “Bagus. Hari ini kalian akan belajar nama-nama binatang. Kalian sudah siap?” “Sudah, Bu,” jawab murid-murid serentak. “Good. Prepare your pens and notebooks. Copy the words from the board.” Tidak ada yang menanggapi. “Kalian mengerti maksud Ibu?” “Tidak, Bu,” jawab murid-murid serentak. Guru lalu menyampaikan pesan yang sama dalam bahasa Indonesia.
    Sementara murid-murid menyiapkan buku dan pena mereka, guru menulis 15 nama binatang dalam bahasa Indonesia di papan tulis, berderet ke bawah. Setelah selesai, dia berkeliling kelas melihat-lihat apakah murid-muridnya menulisnya dengan benar ejaannya. Kadang dia berhenti untuk membantu murid yang mengalami kesulitan.
    Setelah murid-murid selesai menuliskan ke-15 nama binatang tersebut, dia meminta anak-anak melihat papan tulis. “Siapa yang tahu bahasa Inggrisnya nama binatang-binatang ini?” Sutanto tunjuk jari. “Bagaimana yang lain?” Tidak ada yang menanggapi. “Baiklah. Apa yang kamu ketahui, Susanto?” “Saya tahu dua saja, Bu. Kucing disebut /?at/ (diucapkan seperti kalau membaca bahasa Indonesia) dan sapi /?ow/.” “Coba kamu tulis dua nama itu di samping nama bahasa Indonesia di papan tulis itu,” pinta gurunya. “Bagus. Tetapi membacanya tidak begitu.” Dia memberikan contoh melafalkan kedua nama tersebut secara benar dan minta murid-murid untuk menirukan bersama-sama. Kemudian dia melengkapi nama-nama 15 binatang dalam bahasa Inggris. Kemudian dia mengambil alat penunjuk dan minta murid-murid untuk menirukan guru. Dengan menunjukkan alat itu ke nama-nama bahasa Inggris binatang di papan tulis satu per satu, dia melafalkan nama itu dan murid-muridnya menirukannya secara klasikal. Kemudian dia minta separuh kelas (sisi kanan) menirukan dan separuhnya lagi (sisi kiri) mendengarkan, dan sebaliknya. Langkah ini diikuti pengecekan secara individual dengan minta 6 orang murid satu per satu menirukan pelafalan nama-nama binatang tersebut. Kegiatan terakhir menirukan dilakukan seluruh kelas. (Lafal guru sempurna).
    Lalu guru berkata, ”I like birds. I do not like cats. Do you like cats, Surti?” Surti diam. “Saya suka burung. Saya tidak suka kucing. Apakah kamu suka kucing, Surti?” “Tidak, Bu.” “Kamu, Tanto?” “Ya, Bu.” Lalu dia menuliskan di papan tulis kalimat 1. I like birds. I do not like cats; 2.Tanto likes cats; 3.Surti does not like cats. Lalu dia menerjemahkan empat kalimat dalam bahasa Indonesia. Murid-murid diminta menurun empat kalimat tersebut dalam bukunya dan dia berkeliling kelas untuk memeriksa apakah mereka benar dalam ejaan. Bebrapa kali dia membantu murid yang salah ejaannya.
    Setelah selesai menulis, murid-murid diminta melihat papan tulis dan membuat dua kalimat sejenis dengan contoh nomor 1 dan 2 sesuai dengan binatang yang disukai dan tidak disukai. Lalu sekitar separuh kelas diminta maju satu per satu untuk membaca kalimatnya. Guru membetulkan lafal yang salah.
    Karena waktu sudah habis, guru memberi PR dengan meminta setiap anak untuk menanyakan 10 teman, boleh teman sekelas atau kakak/adik kelas binatang apa yang mereka sukai dan tidak sukai di antara 10 binatang yang ada dalam daftar. Terakhir guru memberi salam perpisahan dengan mengucapkan, “Good bye,” dan dijawab oleh sebagian murid.
    Gambar 3.1 Vignette Pembelajaran Bahasa Inggris Kelas IV SD
    Seperti dapat dilihat dalam Gambar 3.1, guru telah melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Akan tetapi kegiatannya terbatas pada pembelajaran tentang lafal, dan terjemahan kata per kata, lalu membuat kalimat terpisah. Tampak bahwa siswa terlibat aktif, tetapi ditinjau dari sudut pandang pembelajaran bahasa komunikatif, proses pembelajaran tersebut belum baik karena belum melibatkan siswa dalam kegiatan menggunakan ungkapan-ungkapan yang dipelajari untuk berkomunikasi, misalnya lewat permainan dan bermain peran.
    Data awal tersedia dalam beberapa vignette yang dicermati bersama oleh peneliti dan kolaboratornya dalam suasana terbuka di mana setiap peserta penelitian mendapatkan hak berbicara sehingga terjadi dialog profesional yang enak. Tentu saja masalah yang ditemukan tidak mungkin hanya satu; biasanya ada sederet masalah. Maka, peneliti bersama kolaboratornya perlu membatasi masalah, atau menentukan fokus penelitian. Dalam kasus pengajaran bahasa Inggris di atas, kualitas pembelajaran di kelas dianggap sebagai masalah yang perlu segera dipecahkan agar hasil pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai, yaitu keterampilan menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Setelah ditentukan, masalah perlu dirumuskan.
    b. Perumusan masalah
    Seperti telah disebutkan di atas, masalah penelitian tindakan yang merupakan kesenjangan antara keadaan nyata dan keadaan yang diinginkan hendaknya dideskripsikan untuk dapat merumuskannya. Pada intinya, rumusan masalah harus mengandung deskripsi tentang kenyataan yang ada dan keadaan yang diinginkan. Contoh-contoh masalah di atas akan diberikan contoh rumusannya dalam Tabel 3.1 di bawah.
    Seperti dapat dilihat pada Tabel 3.1, dalam rumusan ada deskripsi tentang keadaan nyata dan deskripsi tentang keadaan yang diinginkan dan kesenjangan antara dua keadaan tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan dengan menutupnya melalui tindakan yang sesuai. Bagaimana cara menutupnya? Karena penelitian tindakan merupakan kegiatan akademik dan profesional, seorang peneliti perlu mencari wawasan teoretis dari pustaka yang relevan untuk dapat menentukan cara-cara yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitiannya. Pustaka yang ditinjau hendaknya mencakup teori-teori dan hasil penelitian yang relevan. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa teori dalam penelitian tindakan bukan untuk diuji, melainkan untuk menuntun peneliti dalam membuat keputusan-keputusan selama proses penelitian berlangsung. Wawasan teoretis sangat mendukung proses analisis masalah.
    Pada akhir tinjauan pustaka, peneliti tindakan dapat mengajukan hipotesis tindakan atau pertanyaan penelitian.
    2. Analisis Masalah
    Analisis masalah perlu dilakukan untuk mengetahui demensi-dimensi masalah yang mungkin ada untuk mengidentifikasikan aspek-aspek pentingnya dan untuk memberikan penekanan yang memadai.
    Analisis masalah melibatkan beberapa jenis kegiatan, bergantung pada kesulitan yang ditunjukkan dalam pertanyaan masalahnya; analisis sebab dan akibat tentang kesulitan yang dihadapi, pemeriksaan asumsi yang dibuat kajian terhadap data penelitian yang tersedia, atau mengamankan data pendahuluan untuk mengklarifikasi persoalan atau untuk mengubah perspektif orang-orang yang terlibat dalam penelitian tentang masalahnya. Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan melalui diskusi di antara para peserta penelitian dan fasilitatornya, juga kajian pustaka yang gayut.
    Tabel 3.1: Masalah dan Rumusannya
    No. Masalah Rumusan
    1 Rendahnya kemampuan mengajukan pertanyaan kritis di kalangan mahasiswa Mahasiswa semester 5 mestinya telah mampu mengajukan pertanyaan yang kritis, tetapi dalam kenyataannya petanyaan mereka lebih bersifat klarifikasi
    2 Rendahnya ketaatan staf pada perintah atasan Staf di kantor ini mestinya melakukan apa yang diperintahkan atasannya, tetapi dalam kenyataanya mereka sering sekali melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan
    3 Rendahnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris Siswa kelas bahasa Inggris mestinya terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar menggunakan bahasa Inggris lewat kegiatan yang menyenangkan, tetapi dalam kenyataan mereka sangat pasif.
    4 Rendahnya kualitas pengelolaan interaksi guru-siswa-siswa Pengelolan interaksi guru-siswa-siswa mestinya memungkinkan setiap siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran, tetapi dalam kenyataan interaksi hanya terjadi antara guru dengan beberapa siswa.
    5 Rendahnya kualitas proses pembelajaran bahasa Inggris ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa tersebut Proses pembelajaran bahasa Inggris mestinya memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar menggunakan bahasa tsb. secara komunikatif, tetapi dalam kenyataannya kegiatan pembelajaran terbatas pada kosakata, lafal dan struktur.
    6 Rendahnya kemandirian belajar siswa di suatu sekolah menengah atas. Kemandirian belajar siswa SLTP mestinya telah berkembang jika kegiatan pembelajarannya mendukungnya, tetapi dalam kenyataannya dominasi peran guru telah menghambat perkembangannya
    Untuk mempertajam hasil analisis, peneliti dapat berusaha menjawab sebagian pertanyaan di bawah ini yang dianggap gayut dengan permasalahannya (Kemmis dan McTaggart, 1988):
    1. Apa hubungan antara individu dan kelompok dalam situasi ini?
    2. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara jati diri individual dan budayanya?
    3. Bagaimana situasi ini menunjukkan kerja hubungan antara nilai-nilai orang dan kepentingan diri mereka?
    4. Sejauh mana situasi ini dibentuk oleh kondisi objektif, dan sejauh mana situasi dibentuk oleh kondisi subjektif (harapan, cara memahami dunia) orang-orang yang terlibat.
    5. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang kekuatan, khususnya hubungan antara kendali dan perlawanan?
    6. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara pertentangan dan perlembagaan?
    7. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara agen manusia (kapasitas kemauan manusia) dan struktur sosial (kerangka kerja sosial) yang membentuk dan membatasi kapasitas untuk melaksanakan kemauan?
    8. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara teori dan praktik?
    9. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara proses dan produk?
    10. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara pendidikan dan masyarakat?
    11. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara reproduksi dan transformasi?
    12. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara stabilitas (atau kesinambungan sejarah) dan perubahan (atau keputusan sejarah)?
    13. Apa yang ditunjukkan oleh situasi ini tentang hubungan antara keadaan dan konsekuensi, atau tentang hubungan antara tujuan dan pencapaian?
    Tentu saja peneliti mungkin dapat menjawab semua pertanyaan di atas atau menjawab semua pertanyaan secara menyeluruh. Namun daftar pertanyaan ini dapat membantu peneliti dalam memahami situasi yang ada bersama gejala-gejala yang perlu diteliti.
    Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin akan membuat peneliti merasa miskin pengetahuan tentang situasi yang akan diteliti sehingga mampu melihat kekurangan pada dirinya. Kemampuan untuk melihat kekurangan yang ada pada dirinya adalah salah satu persyaratan bagi keberhasilan penelitian tindakan itu sendiri, seperti telah disebutkan pada Bab II. Bandingkan siratan semua pertanyaan di atas dengan komentar yang terkenal dari Isaac Newton seperti dikutip di bawah ini.
    I don’t know what I may appear to the world, but to myself I seem to have been only a boy playing on the sea-shore, and diverting myself in now and again finding a smother pebble or the prettier shell than ordinary, whilst the great ocean of truth lay all undiscovered before me. ( dalam Kemmis dan McTagart, 1988: 99)
    (Saya tidak tahu bagaimana saya ini tampak di dunia, tetapi saya sendiri merasa hanyalah seorang bocah laki-laki yang bermain di pantai, dan lari mondar-mandir ke segala arah dari waktu ke waktu untuk menemukan batu kecil yang lebih halus atau kerang yang lebih cantik dari biasanya, sementara samudera kebenaran terbentang di depanku penuh rahasia).
    3. Perumusan Hipotesis Tindakan
    Hipotesis dalam penelitian tindakan bukan hipotesis perbedaan atau hubungan, melainkan hipotesis tindakan. Idealnya hipotesis penelitian tindakan mendekati keketatan penelitian formal. Namun situasi lapangan yang senantiasa berubah membuatnya sulit untuk memenuhi tuntutan itu.
    Rumusan hipotesis tindakan memuat tindakan yang diusulkan untuk menghasilkan perbaikan yang diinginkan. Untuk sampai pada pemilihan tindakan yang dianggap tepat, peneliti dapat mulai dengan menimbang prosedur-prosedur yang mungkin dapat dilaksanakan agar perbaikan yang diinginkan dapat dicapai sampai menemukan prosedur tindakan yang dianggap tepat. Dalam menimbang-nimbang berbagai prosedur ini sebaiknya peneliti mencari masukan dari sejawat atau orang-orang yang peduli lainnya dan mencari ilham dari teori/hasil penelitian yang telah ditinjau seblumnya sehingga rumusan hipotesis akan lebih tepat..
    Contoh hipotesis tindakan akan diberikan di sini. Situasinya adalah kelas yang siswa-siswanya sangat lamban dalam memahami bacaan. Berdasarkan analisis masalahnya peneliti menyimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut memiliki kebiasaan membaca yang salah dalam memahami makna bahan bacaannya, dan bahwa ‘kesiapan pengalaman’ untuk memahami konteks perlu ditingkatkan. Maka hipotesis tindakannya sebagai berikut: “Bila kebiasaan membaca yang salah dibetulkan lewat teknik-teknik perbaikan yang tepat dan ‘kesiapan pengalaman’ untuk memahami konteks bacaan ditingkatkan, maka para siswa akan meningkat kecepatan membacanya.” Apabila setelah dilaksanakan tindakan yang direncanakan dan telah diamati, hipotesis tindakan ini ternyata meleset dalam arti pengaruh tindakannya belum seperti yang diinginkan, peneliti harus merumuskan hipotesis tindakan yang baru untuk putaran penelitian tindakan berikutnya. Dengan demikian, dalam suatu putaran spiral penelitian tindakan, peneliti merumuskan hipotesis, dan pada putaran berikutnya merumuskan hipotesis yang lain, dan putaran berikutnya lagi merumuskan hipotesis yang lain lagi … begitu seterusnya, sehingga pelaksanaan tugas terus meningkat kualitasnya.
    Untuk masalah-masalah yang dicontohkan di atas, diberikan contoh rumusan hipotesis tindakannya dalam Tabel 3.2 di bawah.
    Tabel 3.2: Masalah, Rumusan Masalah dan Hipotesis Tindakan
    No Masalah Rumusan Hipotesis Tindakan
    1 rendahnya kemampuan mengajukan pertanyaan kritis di kalangan mahasiswa Mahasiswa semester 5 mestinya telah mampu mengajukan pertanyaan yang kritis, tetapi dalam kenyataannya petanyaan mereka lebih bersifat klarifikasi Jika tingkat kekritisan pertanyaan mahasiswa dijadikan penilaian kualitas partisipasi mereka setelah diberi contoh dengan pembahasan-nya, kemampuan mengajukan pertanyaan kritis mereka akan meningkat.
    2 rendahnya ketaatan staf pada perintah atasan Staf di kantor ini mestinya melakukan apa yang diperintahkan atasannya, tetapi dalam kenyataanya mereka sering sekali melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan Jika diterapkan sanksi terhadap ketidaktaatan terhadap perintah atasan setelah dibahasa akibat buruknya, ketaatan staf terhadap perintah atasan akan meningkat.
    3 rendahnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dan rendahnya motivasi belajar mereka Siswa kelas bahasa Inggris mestinya terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar menggunakan bahasa Inggris lewat kegiatan yang menyenangkan sehingga motivasi belajarnya tinggi, tetapi dalam kenyataan mereka kurang sekali terlibat sehingga motivasi mereka rendah. Dengan kegiatan yang menyenangkan di mana mereka belajar menggunakan bahasa Inggris, keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar akan meningkat, dan begitu juga motivasi belajar mereka.
    4 rendahnya kualitas pembelajaran bahasa Inggris ditinjau dari tujuan mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa tersebut Kualitas pembelajaran bahasa Inggris mestinya tinggi jika kegiatannya terfokus untuk mengembangkan kemahiran berkomunikasi dalam bahasa Inggris, tetapi dalam kenyataannya focus terlalu berat pada kegiatan untuk menguasai pengetahuan tentang grammar dan kosakata bahasa Inggris. Jika kegiatan pembelajaran difokuskan pada pengembangan kompetensi komunikatif berbahasa Inggris, kualitas pembelajaran akan meningkat.
    5 rendahnya kemandirian belajar siswa di suatu sekolah menengah pertama Kemandirian belajar siswa SLTP mestinya telah berkembang jika kegiatan pembelajarannya mendukungnya, tetapi dalam kenyataannya dominasi peran guru telah menghambat perkembangannya Jika kegiatan pembelajaran diciptakan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masing-masing siswa, kemandirian belajar siswa akan meningkat.
    Untuk melengkapi contoh hipotesis tindakan, berikut disajikan hipotesis tindakan suatu proyek penelitian tindakan yang dilaporkan oleh Elliott (1988) seperti disajikan di bawah.
    a. Guru tidak mungkin bergeser dari situasi formal kalau mereka menggunakan pendekatan terstruktur jangka pendek
    Yang dimaksud dengan pendekatan terstruktur jangka pendek adalah pendekatan untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan dalam waktu yang singkat. Penggunaan terstruktur jangka pendek cenderung menceburkan guru ke dalam salah satu dari dua dilema yang mungkin timbul. Pertama, ada kemungkinan bahwa siswa menggunakan alur penalaran yang berbeda dengan alur penalaran yang diinginkan oleh guru. Katakan misalnya, guru telah menentukan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan. Karena ada perbedaan alur penalaran antara dia dan siswanya, dia terpaksa mencapai tujuan itu dalam waktu yang lebih lama, atau dia harus mengendalikan penalaran siswa agar sama dengan alur penalarannya. Jika cara kedua yang dipilih, ketergantungan intelektual siswa pada posisi orang yang berwenang pasti bertambah. Kedua, siswa mungkin sama sekali tidak dapat melakukan banyak penalaran. Lagi-lagi, agar mencapai tujuan dalam waktu yang ditentukan guru mungkin membimbing siswa ke arah tujuan itu dengan memberinya terlalu banyak petunjuk. Dalam situasi seperti itu kemungkinan besar siswa banyak menebak ke arah mana jawaban yang diinginkan oleh guru karena mereka tidak ingin terlalu menyimpang dari jawaban yang diinginkan oleh guru. Dengan demikian, siswa mulai kehilangan kemerdekaan penalarannya. Dengan kata lain, ketergantungan siswa kepada guru meningkat.
    b. Untuk menghilangkan tebak-menebak dan bergeser dari situasi formal ke situasi informal, guru mungkin harus menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal berikut:
    1) Mengubah topik
    Guru mengubah topik yang sedang dibicarakan mungkin menghambat siswa dalam mengungkapkan dan mengembangkan gagasan-gagasannya sendiri karena siswa cenderung menafsirkan perubahan tersebut sebagai usaha untuk mendapatkan kesesuaian dengan alur penalaran tertentu.
    2) Penguatan positif
    Ungkapan tanggapan positif yang terlalu mantap, seperti ‘bagus’, ‘menarik’, dan ‘betul’ sebagai tanggapan terhadap gagasan tertentu yang diungkapkan siswa dapat menghalangi pengungkapan dan pembahasan gagasan-gagasan yang lain karena siswa cenderung menafsirkan penguatan tersebut sebagai usaha untuk mengesahkan pengembangan gagasan tertentu saja, dan menutup kemungkinan pengembangan gagasan-gagasan yang lain.
    3) Pengajuan pertanyaan kritis secara selektif
    Guru yang mengajukan pertanyaan yang kritis kepada siswa-siswa tertentu saja dan bukan kepada siswa-siswa lainnya mungkin menghalangi kelompok siswa pertama untuk mengembangkan gagasan-gagasannya karena pertanyaan demikian cenderung ditafsirkan sebagai evaluasi negatif terhadap gagasan-gagasan yang diungkapkan.
    4) Pertanyaan dan pernyataan yang mengarah
    Pertanyaan dan pernyataan yang mengandung informasi tentang jawaban yang diinginkan guru mungkin menghalangi siswa untuk mengembangkan gagasan-gagasan sendiri karena mereka cenderung menafsirkan tindakan demikian sebagai usaha menghambat atau membatasi arah pemikiran mereka.
    5) Mengundang kesepakatan bulat
    Guru menanggapi gagasan-gagasan siswa dengan pertanyaan seperti ‘Apakah kalian semua setuju?’ atau ‘Apakah ada yang tidak setuju?’ cenderung menghalangi pengungkapan keragaman pikiran atau pendapat.
    6) Urutan pertanyaan/jawaban
    Guru yang selalu mengajukan pertanyaan setelah mendengar jawaban siswa terhadap pertanyaan sebelumnya mungkin menghalangi siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka sendiri karena siswa mungkin menafsirkan pola demikian sebagai usaha untuk mengendalikan masukan dan urutan gagasan.
    7) Mengendalikan informasi faktual
    Guru yang menyampaikan informasi faktual secara pribadi, apakah secara lisan atau tertulis, mungkin menghalangi siswa untuk mengevaluasinya karena siswa cenderung menafsirkan intervensi demikian sebagai usaha untuk membuat mereka menerima kebenaran.
    8) Tidak meminta evaluasi
    Guru yang tidak meminta siswanya untuk mengevaluasi informasi yang mereka pelajari mungkin menghalangi mereka untuk mengritik karena siswa cenderung menafsirkan situasi tersebut sebagai hal yang melarang adanya kritik.
    c. Guru yang menggunakan pendekatan terstruktur jangka panjang dalam konteks di mana siswa secara psikologis bergantung kepada guru lebih kecil kemungkinannya untuk bergeser dari situasi formal dibandingkan dengan guru yang menggunakan pendekatan tak terstruktur.
    Ketika siswa sangat bergantung kepada guru secara psikologis, guru mungkin dapat mengurangi ketergantungan tersebut dengan jalan meyakinkan bahwa mereka tidak dapat mendapatkan jawaban daripadanya. Pertanda apa pun yang menunjukkan digunakannya pendekatan terstruktur, meskipun dalam jangka panjang, mendorong mereka untuk menghabiskan tenaganya untuk medapatkan jawaban dari gurunya. Tentu saja, guru dapat berusaha meyakinkan siswanya bahwa dia tidak memiliki jawaban yang diinginkan, tetapi mungkin cara yang baik adalah mengusahakan mencapai tujuan-tujuan yang tak terstruktur sehingga siswa lebih leluasa dalam mengembangkan gagasan-gagasan mereka untuk sampai pada jawaban yang diinginkan.
    Sumber: http://www.ktiguru.org/cms/view.php?page=materi

    0 komentar:

    Posting Komentar